Saturday, 1 March 2014

Tobat Akademis? Rantai permasalahan meringis




Hai, kali ini saya akan memberikan sedikit warna yang berbeda pada blog ini. Ini tentang komentar saya mengenai lingkungan saya, masyarakat ilmiah.
Artikel yang dikemukakan oleh A. Chaedar Alwasilah yang berjudul “Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan” adalah artikel yang hebat, namun sebenarnya memiliki arti yang menyakitkan terutama bagi masyarakat ilmiah. Artikel ini mencakup makna tentang pentingnya menjadi masyarakat akademis. Alwasilah berkata dalam artikelnya, bahwa sekarang ini Indonesia kurang dianggap bahkan tidak diperhitungkan sama sekali mengenai kualitas intelektual masyarakat ilmiahnya.
Banyak aspek-aspek yang terkait dengan masalah tersebut. Dalam artikel tersebut juga telah dijelaskan salah satunya mengenai manajemen PT yang kurang memberikan penghargaan terhadap para penulis, berbeda dengan para pejabat struktural. Karena itu banyak dosen lebih memilih jabatan struktural daripada meneliti atau menulis. Hal tersebut sudah jelas bahwa masyarakat ilmiah di Indonesia lebih cenderung pada hasil berupa uang untuk memenuhi kehidupan mereka daripada ilmu yang terus mengalir. Hal ini berakibat pada beratnya “tobat” para pelaku akademis. Untuk menjadi pejabat struktural di suatu Perguruan Tinggi akan lebih “bergengsi” bagi mereka daripada memenuhi rak buku pada perpustakaan.
Selain masalah personal masyarakat ilmiah, kendala juga dilihatkan pada sektor pemerintah. Menurut Alwasilah dalam artikelnya, kebijakan pemerintah pun kurang kondusif bagi publikasi. Perbandingannya yaitu terlihat dari negara tetangga Malaysia. Berbeda dengan Indonesia, Malaysia tidak menarik pajak dari honor pengarang dan penjualan buku. Hal ini akan sangat mengganggu serta menghambat keinginan para “pemula” penulis akademik untuk mencetakkan tulisan mereka dalam bentuk karya ilmiah. Susahnya mendapatkan izin untuk membuat buku, masyarakat akademik di Indonesia cenderung menulis dengan bebas tanpa memperhitungkan EYD pada media yang lebih gratis dan effisien yaitu internet.
Menurut artikelnya, Alwasilah berbicara mengenai cara untuk merubah kebiasaan masyarakat ilmiah supaya gemar menulis ilmiah. Hakikat pembangunan mesin reproduksi ilmu adalah pembenahan manajemen keilmuan internal di PT. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa selama ini PT selalu memperhitungkan gelar sebagai indikator penting dalam keberhasilan akademis, padahal yang dijadikan ukuran pada forum internasioanal adalah karya tulis mereka. Hal ini memang terlihat mudah namun susah dijalani. Kebanyakan masyarakat ilmiah “tak mau repot” untuk melakukan sesuatu. Mereka cenderung bersikap “shortcut” dalam berkarya ataupun melakukan hal lain, misalnya menulis karya ilmiah. Banyak perbincangan yang mengatakan bahwa mereka rela membeli sebuah karya ilmiah daripada menelaah apa yang seharusnya mereka lakukan. Hal ini tentu bukan hanya terkait pada tingkat “kemalasan” seseorang, salah satunya yaitu uang. Kecenderungan ini mengakibatkan berbagai hal dikorupsi, pelakunya bukan hanya perseorangan tetapi perkumpulan atau komunitas tertentu. Begitu komplit permasalahan yang terkait sehingga sangat susah untuk disembuhkan.
Permasalahan selanjutnya yaitu para pejabat tinggi yang enggan melakukan perbaikan. Hal ini masih terkait dengan malasnya mengungkap dan menganggap baik-baik saja. Masalah timbul ketika para “pembersih” masyarakat yang “kotor” tidak bisa berbuat apa-apa melihat kompleksitas permasalahan tersebut. Mereka cenderung hanya diam dan mengikuti arus. Mereka beranggapan jika melakukan sesuatu hal tidak akan berdampak pada akar permasalahan. Mungkin hanya beberapa persen saja setelah itu akan kembali seperti semula. Perlu adanya dorongan dan dukungan yang kuat dari para “pembersih” masyarakat ilmiah. Hal ini juga akan berdampak percuma jika para pemimpin PT tidak merespon kecekikan para “pembersih” masyarakat
 ilmiah. Permasalahan yang begitu kompleks dan saling terkait erat sangat susah dilepaskan. Mungkin saja jika masyarakat ilmiah berjalan seperti ini secara terus menerus, maka nama Indonesia akan semakin tenggelam dalam dunia akademik. Perlu adanya perombakan ulang tatanan struktural akademik pusat dan melakukan “cuci otak” dalam hal yang positif demi terjaganya sikap yang tanggungjawab terhadap ilmu yang diemban. Akan lebih mulia jika para masyarakat ilmiah mampu membawa nama baik Indonesia dalam bidang akademik di kancah dunia sehingga Indonesia diperhitungkan dalam penelitian-penelitian tertentu

No comments:

Post a Comment

silahkaaan :D

who am I ƪ(˘⌣˘)ʃ