Hai, kali ini saya akan memberikan sedikit warna yang berbeda pada blog ini. Ini tentang komentar saya mengenai lingkungan saya, masyarakat ilmiah.
Artikel
yang dikemukakan oleh A. Chaedar Alwasilah yang berjudul “Membangun Mesin
Reproduksi Pengetahuan” adalah artikel yang hebat, namun sebenarnya memiliki
arti yang menyakitkan terutama bagi masyarakat ilmiah. Artikel ini mencakup
makna tentang pentingnya menjadi masyarakat akademis. Alwasilah berkata dalam
artikelnya, bahwa sekarang ini Indonesia kurang dianggap bahkan tidak
diperhitungkan sama sekali mengenai kualitas intelektual masyarakat ilmiahnya.
Banyak
aspek-aspek yang terkait dengan masalah tersebut. Dalam artikel tersebut juga telah
dijelaskan salah satunya mengenai manajemen PT yang kurang memberikan penghargaan
terhadap para penulis, berbeda dengan para pejabat struktural. Karena itu
banyak dosen lebih memilih jabatan struktural daripada meneliti atau menulis.
Hal tersebut sudah jelas bahwa masyarakat ilmiah di Indonesia lebih cenderung
pada hasil berupa uang untuk memenuhi kehidupan mereka daripada ilmu yang terus
mengalir. Hal ini berakibat pada beratnya “tobat” para pelaku akademis. Untuk
menjadi pejabat struktural di suatu Perguruan Tinggi akan lebih “bergengsi”
bagi mereka daripada memenuhi rak buku pada perpustakaan.
Selain
masalah personal masyarakat ilmiah, kendala juga dilihatkan pada sektor
pemerintah. Menurut Alwasilah dalam artikelnya, kebijakan pemerintah pun kurang
kondusif bagi publikasi. Perbandingannya yaitu terlihat dari negara tetangga
Malaysia. Berbeda dengan Indonesia, Malaysia tidak menarik pajak dari honor pengarang
dan penjualan buku. Hal ini akan sangat mengganggu serta menghambat keinginan
para “pemula” penulis akademik untuk mencetakkan tulisan mereka dalam bentuk
karya ilmiah. Susahnya mendapatkan izin untuk membuat buku, masyarakat akademik
di Indonesia cenderung menulis dengan bebas tanpa memperhitungkan EYD pada
media yang lebih gratis dan effisien
yaitu internet.
Menurut
artikelnya, Alwasilah berbicara mengenai cara untuk merubah kebiasaan
masyarakat ilmiah supaya gemar menulis ilmiah. Hakikat pembangunan mesin
reproduksi ilmu adalah pembenahan manajemen keilmuan internal di PT. Perlu ada
kesadaran kolektif bahwa selama ini PT selalu memperhitungkan gelar sebagai
indikator penting dalam keberhasilan akademis, padahal yang dijadikan ukuran
pada forum internasioanal adalah karya tulis mereka. Hal ini memang terlihat
mudah namun susah dijalani. Kebanyakan masyarakat ilmiah “tak mau repot” untuk
melakukan sesuatu. Mereka cenderung bersikap “shortcut” dalam berkarya ataupun melakukan hal lain, misalnya
menulis karya ilmiah. Banyak perbincangan yang mengatakan bahwa mereka rela
membeli sebuah karya ilmiah daripada menelaah apa yang seharusnya mereka
lakukan. Hal ini tentu bukan hanya terkait pada tingkat “kemalasan” seseorang,
salah satunya yaitu uang. Kecenderungan ini mengakibatkan berbagai hal
dikorupsi, pelakunya bukan hanya perseorangan tetapi perkumpulan atau komunitas
tertentu. Begitu komplit permasalahan yang terkait sehingga sangat susah untuk
disembuhkan.
Permasalahan
selanjutnya yaitu para pejabat tinggi yang enggan melakukan perbaikan. Hal ini
masih terkait dengan malasnya mengungkap dan menganggap baik-baik saja. Masalah
timbul ketika para “pembersih” masyarakat yang “kotor” tidak bisa berbuat
apa-apa melihat kompleksitas permasalahan tersebut. Mereka cenderung hanya diam
dan mengikuti arus. Mereka beranggapan jika melakukan sesuatu hal tidak akan
berdampak pada akar permasalahan. Mungkin hanya beberapa persen saja setelah
itu akan kembali seperti semula. Perlu adanya dorongan dan dukungan yang kuat dari
para “pembersih” masyarakat ilmiah. Hal ini juga akan berdampak percuma jika
para pemimpin PT tidak merespon kecekikan para “pembersih” masyarakat
ilmiah.
Permasalahan yang begitu kompleks dan saling terkait erat sangat susah
dilepaskan. Mungkin saja jika masyarakat ilmiah berjalan seperti ini secara
terus menerus, maka nama Indonesia akan semakin tenggelam dalam dunia akademik.
Perlu adanya perombakan ulang tatanan struktural akademik pusat dan melakukan
“cuci otak” dalam hal yang positif demi terjaganya sikap yang tanggungjawab
terhadap ilmu yang diemban. Akan lebih mulia jika para masyarakat ilmiah mampu
membawa nama baik Indonesia dalam bidang akademik di kancah dunia sehingga
Indonesia diperhitungkan dalam penelitian-penelitian tertentu
No comments:
Post a Comment
silahkaaan :D